Udara pagi di lereng Gunung Telomoyo masih dipenuhi kabut tipis ketika suara gamelan terdengar lembut dari kejauhan. Nada-nadanya mengalun pelan, menyusup di antara pepohonan kopi dan padi yang bergoyang tertiup angin.
Dari arah balai bambu di tengah Dusun Tanon, sekelompok anak kecil berlari dengan riasan wajah yang lucu, berjingkrak, dan berteriak satu sama lain. Di antara mereka, berdiri seorang pria dengan senyum yang hangat, Trisno, atau yang biasa mereka panggil Kang Tris, yang berkontribusi memajukan desa ini.
Beberapa tahun silam, Tanon bukanlah desa yang ramai seperti sekarang. Sebagian besar warganya bekerja sebagai petani dan peternak. Jalanan tanahnya sepi, dan anak-anak sering menghabiskan waktu sore dengan menunggu matahari tenggelam tanpa banyak hal yang bisa dilakukan. Banyak pemuda yang bermimpi pergi ke kota, karena mereka merasa tidak ada masa depan di tempat sekecil ini.
Namun segalanya berubah ketika Kang Tris kembali dari perantauan. Ia membawa ide gila menjadikan Tanon sebagai Desa Menari. Awalnya, orang-orang menganggapnya bercanda. “Menari? Di tengah sawah seperti ini? Siapa yang mau datang?”
Tapi Kang Tris tidak mundur. Ia percaya bahwa setiap gerak tubuh warga, dari menanam padi, permainan anak, sampai memerah susu, adalah bentuk tarian kehidupan. Ia mulai mengajak anak-anak belajar menari tradisional di bawah pohon randu, menggunakan alat musik seadanya, panci, kaleng, dan bambu. Lambat laun, suara gamelan yang dulu hanya terdengar di pesta desa kini menjadi bagian dari keseharian Tanon.
Kabar tentang “desa yang menari” menyebar pelan-pelan. Wisatawan datang, tertarik melihat anak-anak desa menampilkan tarian rakyat dengan semangat yang luar biasa. Mereka menari bukan untuk uang, tapi untuk menunjukkan siapa mereka, anak-anak yang bangga dengan tanah kelahirannya.
Perubahan di Tanon tidak berhenti di sana. Berkat dukungan berbagai pihak, termasuk program pembinaan dari Astra, desa itu makin berkembang. Mereka membangun sanggar tari sederhana, perpustakaan kecil yang disebut Omah Cikal, dan pelatihan wirausaha untuk ibu-ibu. Kini, anak-anak Tanon tak hanya belajar menari, tapi juga belajar bercita-cita.
Kang Tris sering berkata, “Tari bukan sekadar gerak tubuh. Ia adalah cara kita bersyukur, cara kita bercerita pada dunia bahwa desa ini punya kehidupan yang indah.”
Setiap akhir pekan, warga berkumpul di lapangan desa. Para bapak memainkan gamelan, ibu-ibu menyiapkan jajanan, dan anak-anak menari.
Wisatawan yang datang diajak ikut bergabung belajar langkah dasar, tertawa bersama, dan merasakan harmoni yang jarang ditemui di kota. Tidak ada penonton sejati di Desa Menari, semua orang adalah bagian dari pertunjukan itu, bahkan bermain bersama.
Namun, perjalanan itu tidak selalu mulus. Suatu tahun, hujan deras membuat tanah longsor menutup jalan menuju desa. Wisatawan berhenti datang, dan warga mulai cemas. “Bagaimana kalau tak ada lagi yang ingin menonton tarian kita?” tanya seorang pemuda.
Kang Tris tidak menyerah. Ia mengumpulkan warga dan berkata, “Menari tidak butuh panggung. Kita menari bukan untuk mereka yang datang, tapi untuk diri kita sendiri. Selama hati kita hidup, desa ini akan tetap menari.”
Malam itu, di bawah sinar lampu minyak dan suara jangkrik, mereka tetap menari di tengah lumpur. Suara gamelan bergema ke seluruh lembah. Bagi mereka, menari adalah bentuk doa agar desa tetap hidup, agar semangat tak pernah padam.
Dan benar saja, beberapa bulan kemudian, jalan diperbaiki. Wisatawan mulai berdatangan lagi. Beberapa membawa bantuan, beberapa hanya datang untuk menyaksikan keajaiban desa yang menari melawan kesedihan.
Kini, Tanon tidak hanya dikenal sebagai destinasi wisata budaya, tapi juga sebagai simbol kebangkitan desa. Banyak universitas mengirim mahasiswa belajar tentang pemberdayaan masyarakat di sana. Beberapa desa lain bahkan meniru konsepnya mengangkat potensi lokal menjadi gerakan budaya.
Anak-anak Tanon tumbuh dengan semangat baru. Mereka tidak takut bermimpi menjadi guru, dokter, atau penari profesional. Mereka tahu, asal ada kemauan, mimpi bisa menari di mana saja.
Matahari mulai tenggelam di balik Gunung Telomoyo, menyinari puncak-puncak awan keemasan. Ia menutup mata dan mendengar suara gamelan dari kejauhan entah dari sanggar, entah dari hati yang singgah. Anak-anak menari perlahan, mengikuti irama alam, desir angin, suara jangkrik, gemerisik daun.
Kang Tris yang melihat dari jauh tersenyum. “Tanon sudah berhasil, kini desanya menari tanpa aku harus memimpin. Mereka menari karena sudah menemukan irama mereka sendiri.”
Di Desa Menari, setiap langkah adalah kisah, setiap tawa adalah melodi, dan setiap tarian adalah doa. Anak-anaknya kini berani bermimpi, para orang tuanya berani berharap, dan seluruh desanya bergerak bersama. Mereka membuktikan bahwa hidup di desa bukan berarti hidup dalam diam karena di Tanon, hidup itu sendiri adalah tarian.
Namun perubahan besar tak mungkin berdiri di atas semangat saja. Di tengah perjalanan, datang dukungan dari Astra International melalui program Kampung Berseri Astra (KBA). Kehadiran mereka membawa empat pilar penting yang membuat langkah Tanon semakin kokoh.
Pilar 1: Pendidikan Menumbuhkan Mimpi
Astra membantu membangun Omah Cikal, sebuah rumah belajar sederhana yang kini menjadi pusat kegiatan anak-anak desa. Di tempat itu, anak-anak belajar membaca, menggambar, hingga menulis impian mereka di dinding bambu.
Omah Cikal bukan hanya tempat belajar, tapi tempat menumbuhkan keberanian bermimpi. Astra juga rutin mengirim relawan dan mengadakan pelatihan kepemimpinan bagi pelajar Tanon. Kini, anak-anak yang dulu malu berbicara di depan umum bisa memandu wisatawan dengan percaya diri.
Pilar 2: Kewirausahaan Menari Bersama Ekonomi
Dulu, warga hanya mengandalkan hasil pertanian. Tapi setelah Astra memperkenalkan pelatihan wirausaha, ibu-ibu Tanon mulai membuat sabun susu, teh pegagan, dan kerajinan bambu sebagai oleh-oleh wisata.
Kegiatan ini membuat warga sadar: setiap tradisi bisa jadi peluang ekonomi tanpa harus meninggalkan budaya, hampir setiap keluarga memiliki usaha kecil yang terhubung dengan kegiatan wisata. Perekonomian bergerak, tapi semangat gotong royong tetap terjaga.
Pilar 3: Lingkungan Menjaga Irama Alam
Astra juga mendorong gerakan cinta lingkungan. Warga Tanon belajar memilah sampah, menanam pohon, dan menjaga kebersihan sumber air. Bahkan, mereka punya tradisi baru, sebelum latihan menari, anak-anak harus menanam satu pohon.
Kini, jalan desa dihiasi taman kecil dan mural bertema tari. Sungai yang dulu keruh kini jernih kembali. Wisatawan sering berkata, “Desa ini seperti menari bersama alamnya.”
Pilar 4: Kesehatan Langkah yang Lebih Kuat
Pilar terakhir yang tak kalah penting adalah kesehatan. Bersama Astra, warga belajar menjaga pola makan, melakukan senam bersama, dan memerangi stunting di kalangan anak-anak.
Kader desa, dibantu bidan lokal, mengadakan pemeriksaan rutin di Posyandu Menari. Bahkan anak-anak menari sebelum kegiatan dimulai sebuah cara menyenangkan untuk menanamkan gaya hidup sehat.
Kini, ibu-ibu Tanon tak hanya sibuk di dapur, tapi juga aktif menjadi relawan kesehatan. Mereka percaya bahwa tubuh yang sehat akan membuat setiap tarian lebih indah.
Tahun demi tahun, empat cahaya itu menyinari Tanon. Pendidikan menumbuhkan pengetahuan, kewirausahaan membuka peluang, lingkungan menjaga keseimbangan, dan kesehatan memberi kekuatan.
Kehadiran Astra bukan sekadar sponsor, tapi sahabat yang berjalan bersama desa tidak menggantikan perjuangan warga, melainkan memperkuatnya.
Tanon telah menemukan iramanya sendiri. Dan selama irama itu terus hidup, Desa Menari akan terus menari bukan hanya di panggung, tapi di hati setiap orang yang pernah melihatnya.
